Sabtu, 29 November 2014

ERA REFORMASI



Reformasi dalam kancah politik Indonesia yang dimulai sejak 1998, Soeharto. Telah menghasilkan banyak perubahan penting dalam bidang politik di Indonesia. Pemerintahan soeharto mempunyai sifat autocratic yang diantaranya mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: pemerintahannya bersifat sentralistik dan dengan demikian tidak demokratis, sangat memerankan pada orientasi kekuasaan politik dan tidak efisien. Partai politik ditempatkan di luar garis kekuasaan sehingga menjadi lemah dan pasif, dan tidak mampu melaksanakan fungsi-fungsi politiknya. Termasuk didalamnya, fungsi kontrol terhadap jalan pemerintahan. Para decision maker didominasi oleh segilintir birokrat tingkat atas, militer, dan teknokrat. Kelompok-kelompok diluar itu tidak mempunyai kekuasaan signifikan dalam mempengaruhi kebijakan publik, termasuk di dalamnya politisi partai politik. Para politisi partai politik tidak dilibatkan dalam proses pemerintahan/pengambilan keputusan.
Dalam struktur politik formal, dalam sistem politik, struktur dibedakan atas kekuasaan eksekutif, legalatif, dan yudikatif. Ini menurut trias politica, meskipun tidak banyak negara menerapkan ajaran ini secara murni. Masing-masing kekuasaan ini terpisah satu dengan yang lain. Kekuasaan legislatif merupakan kekuasaan pembuat peraturan dan undang-undang, kekuasaan eksekutif merupakan kekuasaan melaksanakan undang-undang, dan kekuasaan yudikatif merupakan kekuasaan yang mempunyai kewenangan untuk mengadili atas pelanggaran undang-undang. Kemerdekaan hanya dapat dijamin jika masing-masing kekuasaan ini tidak dipegang oleh satu orang atau dalam satu badan penguasa. Dalam kaitan ini, jika kekuasaan legislatif disatukan dengan kekuasaan eksekutif dalam satu tangan individu atau lembaga, maka tidak akan ada kemerdekaan. Sebaliknya, akan menjadi malapetaka, jika ketiga kekuasaan tadi ada dalam satu tangan, tidak peduli apakah kekuasaan tersebut berada di tangan kaum bangsawan ataukah ditangan rakyat jelata.  
UUD 1945 sebagai dasar konstitusi negara tidak menyebutkan secara eksplisit bahwa kekuasaan negara di susun atas ajaran trias politica. Namun, bila dilihat secara seksama, maka ajaran trias politica ini menjadi dasar bagi pembagian kekuasaan di Indonesia. Dalam hal ini, kekuasaan negara dibagi secara seimbang dan adanya checks and balances. Checks and Balances diantara penyelenggara negara ini dimanifestasikan dalam wujud: a) pembuatan undang-undang yang memerlukan persetujuan DPR, DPD, dan presiden yang masing-masing mempunyai kewenangan veto; b) pengawasan dan impeachment oleh lembaga-lembaga legislatif terhadap presiden; c) judical review oleh Mahkamah Konstitusi terhadap undang-undang dan produk dibawahnya; d) daerah otonom yang dapat mengajukan gugatan terhadap keputusan pusat; dan e) pengangkatan menteri yang memerlukan pertimbangan DPR.
Keberadaan partai politik lebih dianggap masalah. Oleh karena itu, ruang geraknya dibatasi dan keberadaaannya hanya ditujukan sebagai alat legitimasi rezim yang berkuasa, Soeharto. Dalam situasi semacam ini, partai politik tidak akan mampu melaksanakan fungsi-fungsinya, selain hanya sebagai alat mobilisasi masa terutama pada masa pemilihan umum. Namun, mereka hampir tidak pernah berperan penting dalam menyalurkan aspirasi dan kepentingan rakyat kepada sistem politik karena kedudukan yang hanya sebagai kelompok marginal. Semua keputusan politik penting dilakukan oleh militer dan birokrasi dalam lingkaran elit di tingkat pusat. Partai politik hampir sama sekali tidak mempunyai pengaruh yang signifikan dalam proses pengambilan keputusan. Pada masa reformasi, masyarakat diberi keleluasan untuk mendirikan partai politik dengan ideologi yang beragam. Pada tahun 1999 terdaftar 141 partai politik di Departemen Kehakiman. Tahun 2002 tumbuh berkembang lagi menjadi 209 partai politik atau ada menyebutnya 237 buah. Dari sekian ratus partai politik itu, tidak seluruhnya menjadi peserta pemilu. Pada pemilu 1999 hanya 48 partai politik yang bisa mengikuti pemilu. Pada pemilu legislatif 5 April 2004, tercatat sebanyak 50 partai politik di departemen kehakiman, dan dari jumlah tersebut hanya 24 partai politik yang memenuhi syarat-syarat untuk ikut pemilu. Jumlah ini akan terus mengalami penyusutan sebagai akibat undang-undang pemilu.
Persoalannya kini adalah apakah partai-partai politik telah memainkan peran penting dalam sistem politik sebagaimana yang diharapkan? para pengamat nampaknya sepakat bahwa partai-partai politik lahir sejak reformasi dicanangkan 1998 kurang mampu melaksanakan fungsi politiknya dengan baik. Ini terjadi karena partai politik lebih berorientasi untuk memperebutkan kekuasaan dibandingkan dengan melaksanakan fungsi-fungsi politiknya. Bahkan, partai politik dituduh berperan besar dalam melakukan amnesia politik.  

Sumber: 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar