Reformasi dalam kancah politik Indonesia yang dimulai sejak 1998, Soeharto. Telah
menghasilkan banyak perubahan penting dalam bidang politik di Indonesia. Pemerintahan
soeharto mempunyai sifat autocratic yang diantaranya mempunyai ciri-ciri
sebagai berikut: pemerintahannya bersifat sentralistik dan dengan demikian
tidak demokratis, sangat memerankan pada orientasi kekuasaan politik dan tidak
efisien. Partai politik ditempatkan di luar garis kekuasaan sehingga menjadi
lemah dan pasif, dan tidak mampu melaksanakan fungsi-fungsi politiknya.
Termasuk didalamnya, fungsi kontrol terhadap jalan pemerintahan. Para decision maker didominasi oleh
segilintir birokrat tingkat atas, militer, dan teknokrat. Kelompok-kelompok
diluar itu tidak mempunyai kekuasaan signifikan dalam mempengaruhi kebijakan
publik, termasuk di dalamnya politisi partai politik. Para politisi partai
politik tidak dilibatkan dalam proses pemerintahan/pengambilan keputusan.
Dalam struktur politik formal, dalam sistem politik, struktur dibedakan
atas kekuasaan eksekutif, legalatif, dan yudikatif. Ini menurut trias politica,
meskipun tidak banyak negara menerapkan ajaran ini secara murni. Masing-masing
kekuasaan ini terpisah satu dengan yang lain. Kekuasaan legislatif merupakan
kekuasaan pembuat peraturan dan undang-undang, kekuasaan eksekutif merupakan
kekuasaan melaksanakan undang-undang, dan kekuasaan yudikatif merupakan
kekuasaan yang mempunyai kewenangan untuk mengadili atas pelanggaran
undang-undang. Kemerdekaan hanya dapat dijamin jika masing-masing kekuasaan ini
tidak dipegang oleh satu orang atau dalam satu badan penguasa. Dalam kaitan
ini, jika kekuasaan legislatif disatukan dengan kekuasaan eksekutif dalam satu
tangan individu atau lembaga, maka tidak akan ada kemerdekaan. Sebaliknya, akan
menjadi malapetaka, jika ketiga kekuasaan tadi ada dalam satu tangan, tidak
peduli apakah kekuasaan tersebut berada di tangan kaum bangsawan ataukah
ditangan rakyat jelata.
UUD 1945 sebagai dasar konstitusi negara tidak menyebutkan secara
eksplisit bahwa kekuasaan negara di susun atas ajaran trias politica. Namun,
bila dilihat secara seksama, maka ajaran trias politica ini menjadi dasar bagi
pembagian kekuasaan di Indonesia. Dalam hal ini, kekuasaan negara dibagi secara
seimbang dan adanya checks and balances.
Checks and Balances diantara penyelenggara negara ini dimanifestasikan
dalam wujud: a) pembuatan undang-undang yang memerlukan persetujuan DPR, DPD,
dan presiden yang masing-masing mempunyai kewenangan veto; b) pengawasan dan impeachment oleh lembaga-lembaga
legislatif terhadap presiden; c) judical review oleh Mahkamah Konstitusi
terhadap undang-undang dan produk dibawahnya; d) daerah otonom yang dapat
mengajukan gugatan terhadap keputusan pusat; dan e) pengangkatan menteri yang
memerlukan pertimbangan DPR.
Keberadaan partai politik lebih dianggap masalah. Oleh karena itu, ruang
geraknya dibatasi dan keberadaaannya hanya ditujukan sebagai alat legitimasi
rezim yang berkuasa, Soeharto. Dalam situasi semacam ini, partai politik tidak
akan mampu melaksanakan fungsi-fungsinya, selain hanya sebagai alat mobilisasi
masa terutama pada masa pemilihan umum. Namun, mereka hampir tidak pernah
berperan penting dalam menyalurkan aspirasi dan kepentingan rakyat kepada
sistem politik karena kedudukan yang hanya sebagai kelompok marginal. Semua
keputusan politik penting dilakukan oleh militer dan birokrasi dalam lingkaran
elit di tingkat pusat. Partai politik hampir sama sekali tidak mempunyai
pengaruh yang signifikan dalam proses pengambilan keputusan. Pada masa
reformasi, masyarakat diberi keleluasan untuk mendirikan partai politik dengan
ideologi yang beragam. Pada tahun 1999 terdaftar 141 partai politik di
Departemen Kehakiman. Tahun 2002 tumbuh berkembang lagi menjadi 209 partai
politik atau ada menyebutnya 237 buah. Dari sekian ratus partai politik itu,
tidak seluruhnya menjadi peserta pemilu. Pada pemilu 1999 hanya 48 partai
politik yang bisa mengikuti pemilu. Pada pemilu legislatif 5 April 2004,
tercatat sebanyak 50 partai politik di departemen kehakiman, dan dari jumlah
tersebut hanya 24 partai politik yang memenuhi syarat-syarat untuk ikut pemilu.
Jumlah ini akan terus mengalami penyusutan sebagai akibat undang-undang pemilu.
Persoalannya kini adalah apakah partai-partai politik telah memainkan
peran penting dalam sistem politik sebagaimana yang diharapkan? para pengamat
nampaknya sepakat bahwa partai-partai politik lahir sejak reformasi dicanangkan
1998 kurang mampu melaksanakan fungsi politiknya dengan baik. Ini terjadi
karena partai politik lebih berorientasi untuk memperebutkan kekuasaan
dibandingkan dengan melaksanakan fungsi-fungsi politiknya. Bahkan, partai
politik dituduh berperan besar dalam melakukan amnesia politik.
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar